Ketika ditiup, suara vuvuzela seperti jeritan gajah atau bunyi peluit kabut yang biasa dipakai para pelaut. Ketika ditiup oleh ribuan orang secara bersamaan di dalam stadion, suara vuvuzela menciptakan kebisingan yang membuat para pemain terganggu. Ujung-ujungnya, konsentrasi mereka pecah.
Pemain tim nasional Spanyol Xabi Alonso paling keras mengkritik pemakaian vuvuzela. ”Suaranya terlalu bising sehingga kami tidak bisa mendengar satu sama lain ketika berkomunikasi di lapangan,” tutur Alonso.
Keluhan itu membuat FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional) mengadakan rapat untuk memutuskan apakah vuvuzela diperbolehkan dibawa ke stadion pada Piala Dunia 2010. Setelah melalui perdebatan panjang, Jumat lalu (18/6) FIFA memutuskan untuk mengizinkan suporter Afsel membawa vuvuzela ke dalam stadion saat menyaksikan Piala Dunia tahun depan.
Presiden FIFA Sepp Blatter mengatakan, pihaknya tidak melarang suporter membawa vuvuzela ke stadion saat Piala Konfederasi 2009. Bahkan, Blatter menentang ide suporter dari luar Afsel yang meminta FIFA melarang fans tuan rumah membawa vuvuzela ke stadion.
”Ini adalah Afrika dan sepak bola Afrika Selatan. Suara bising, tarian, siulan, teriakan, dan sorakan menciptakan atmosfer berbeda di dalam stadion,” kata Blatter. Dia menambahkan, larangan membawa vuvuzela ke stadion bakal mengurangi kemeriahan suasana sepak bola.
Vuvuzela mulai dipopulerkan pada akhir 1990. Masincedane Sport adalah perusahaan yang pertama memproduksi masal vuvuzela pada 2001. Pada 15 Mei 2004, vuvuzela diproduksi sebanyak 20 ribu. Hal itu dilakukan untuk menandai peresmian Afsel sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010. Saat itu, Presiden FIFA Sepp Blatter meniup vuvuzela sebagai tanda terpilihnya Afsel menjadi host Piala Dunia 2010.
Di Afsel, vuvuzela menjadi ikon dalam banyak acara. Mulai sebagai alat memanggil orang, mendukung tim sepak bola, hingga menjadi salah satu alat musik dalam pertunjukan orkestra. Bagi suporter sepak bola di Afsel, vuvuzela menjadi barang yang wajib dibawa.
Bahkan, dua klub besar di Afsel memiliki warna kebesaran sendiri-sendiri. Fans klub Kaizer Chiefs identik dengan vuvuzela kuning. Sedangkan pendukung Orlando Pirates membawa vuvuzela hitam atau putih. Namun, ketika mendukung timnas Afsel, para suporter sepakat membawa vuvuzela berwarna pelangi.
Hanya, suporter dilarang membawa vuvuzela saat pertandingan rugbi. Vuvuzela juga tidak boleh dibawa saat pertandingan kriket. Suara bising vuvuzela sangat mengganggu pemain kriket yang memang butuh konsentrasi tinggi.
Orkestra vuvuzela kali pertama dimainkan saat perhelatan Piala Nelson Mandela di Stadion Ellis Park, Johannesburg, November 2007. Ketika itu, Afsel meladeni Amerika Serikat (AS). Di Cape Town, ada kelompok orkestra yang sering memainkan vuvuzela.
Di Piala Konfederasi 2009, vuvuzela menjadi salah satu suvenir yang paling diburu. Kebanyakan pendukung Afsel lebih senang membawa vuvuzela daripada aksesori lainnya seperti tambur atau bendera. Harga sebuah vuvuzela beragam. Mulai R 40 hingga R 80 (Rp 48 ribu sampai Rp 96 ribu), bergantung ukurannya.
0 comments:
Post a Comment